Peta Pilpres 2024 Dari Kacamata Nahdlatul Ulama
Raja Media Jabar, Opini - Menyebut nama Nahdlatul Ulama (NU) tentunya tidak akan bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, termasuk dalam perpolitikan nasional.
NU merupakan penyumbang terbesar dari populasi penduduk Indonesia, dimana menurut hasil survey Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Denny JA pada Tahun 2019 lalu dengan jumlah anggota 49,5 persen dari jumlah masyarakat muslim Indonesia yang mendominasi penduduk Indonesia sebesar 87,8 persen.
Yang jika dikonversi ke jumlah orangnya, maka jumlah warga NU berkisar 100 juta orang lebih.
Itu tentunya bukan hasil survey yang mengada-ngada, namun sudah melalui metode survey yang bisa dipertanggung jawabkan, dengan Margin of Error yang disebutkan LSI Denny JA sebesar 2,9 persen atau di bawah 3 persen saja.
Sementara itu Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda menyebut ada sekitar 80-90 juta pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu 2019 lalu, memiliki afiliasi dengan NU.
Jika di petakan dalam persentase, maka NU menguasai sekitar 41,9 persen suara pemilih Indonesia.
Wow, tentu itu suara yang sangat bisa mempengaruhi konstelasi election pada pileg, pilpres dan pilkada di Indonesia, bahkan sampai ke daerah-daerah yang berada di luar Pulau Jawa sekalipun.
Dalam sejarah pemilu, NU pernah memperlihatkan kebesarannya pada Pemilu 1955 dengan menjadi 3 besar dan meraih 18,41 persen suara.
NU hanya kalah dari PNI yang memiliki simbol Presiden Soekarno dan Masyumi yang sebagian besar pemilihnya juga warga NU.
Selama periode Orde Lama, hanya sekali diadakan pemilu, selanjutnya pada masa Orde Baru diadakan lagi Pemilu pada Tahun 1971.
NU juga ikut dalam pemilu tersebut dengan capaian suara nomor dua terbanyak setelah Golkar yang sangat mendominasi.
NU berhasil mendapatkan 10.213.650 atau sebesar 18,68 persen.
Seiring makin menguatnya cengkeraman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, partai-partai politik pun disederhanakan menjadi 3 partai dengan Golkar sebagai center dan partai pemerintah.
NU sendiri kemudian berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan bersama PERTI, PSII dan Parmusi.
Secara organisasi NU pun memilih menjauh dari politik praktis, dengan munculnya istilah 'kembali ke khittah'.
Walau secara organisasi NU berlepas diri dari politik, tapi kekuatan NU tetap menjadi perhitungan dari pemilu ke pemilu.
Secara historical NU memang bergabung ke PPP, tapi banyak tokoh-tokoh NU yang masih concern ke politik juga memilih untuk bergabung ke Golkar dan PDI.
Terbukanya keran Reformasi pada Tahun 1998, yang ditandai dengan runtuhnya Orde Baru membuat tokoh-tokoh NU kembali melirik dunia politik praktis. K
etua Umum PBNU waktu itu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur membuka jalan lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Walau NU tidak secara dejure kembali berpolitik, tapi kelahiran PKB yang murni dari rahim NU membuat secara defacto NU telah kembali menapaki terjalnya lintasan politik.
PKB mengikuti Pemilu pertamanya di Tahun 1999 bersama 48 partai lainnya dan PKB berhasil berada di posisi 3 dengan capaian 12,62 persen, satu trip di atas saudara tuanya PPP.
Warga NU juga mendapatkan kemenangan besarnya, dengan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia.
Kemenangan yang sampai saat ini masih berbekas dalam hati dan pikiran para Nahdliyin.
Membaca Peran NU di Pilpres 2024
Sejak pilpres pasca reformasi, warga NU selalu menjadi perhatian dan peluang mengeruk suara, terutama sejak sistim pilpres berlangsung secara langsung.
Pilpres 2004, Presiden Megawati Sukarnoputri menggandeng Ketum PBNU Hasyim Muzadi sebagai penarik suara dari warga NU, namun pasangan tersebut kalah dari pasangan fenomenal Susilo Bambang Yudoyono (SBY) bersama Jusuf Kalla.
Pilpres 2009, SBY yang mencapai puncak popularitas dan elektabilitasnya, tidak membuka peluang bagi pesaingnya untuk bisa bersaing, walau NU juga mengirimkan wakilnya sebagai capres dalam sosok Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla yang kurang begitu dikenal sebagai Nahdliyin tidak mampu memaksimalkan ceruk suara NU yang melimpah tersebut.
Berlanjut pada Pilpres 2014 dan 2019, NU mengirimkan wakilnya sebagai cawapres dari Presiden Jokowi, yakni Jusuf Kalla di Pilpres 2014 dan Ma'ruf Amin di Pilpres 2019.
Dalam kedua pilpres tersebut, suara warga NU memiliki peran yang sangat signifikan untuk mengantarkan kemenangan Jokowi.
Walau tidak semua pilpres pasca reformasi bisa dimenangi oleh perwakilan NU, namun ada benang merah yang sangat jelas, yakni PKB selalu berada dalam barisan pemenang.
Benang merah yang lain, Ketum PKB sejak 2009 adalah Muhaimin Iskandar, yang saat ini masih menduduki posisi tersebut.
Jika kemudian pada Pilpres 2024 mendatang, warga NU menginginkan peran lebih merupakan sesuatu yang sangat wajar dan realistis.
Apalagi pada Pilpres 2024 mendatang tidak ada lagi sosok incumbent, sehingga kekuatan bisa disebut sangat merata.
Tapi jika berkaca pada hasil-hasil survey dan perkembangan yang pilpres terkini, tidak ada satupun tokoh NU yang berada di garis teratas untuk posisi capres.
Nama Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno ataupun Puan Maharani berada di daftar teratas.
Satupun dari nama itu, tidak ada yang benar-benar bisa disebut sebagai sosok Nahdliyin atau perwakilan warga NU.
Untuk sekali periode pilpres lagi, warga NU terpaksa harus menjadikan Pilpres 1999 sebagai kenangan terindah.
Warga NU kembali hanya menjadi objek penarik suara, untuk kemenangan nama-nama di atas.
Apakah NU semiris itu? Tidak memiliki tokoh yang layak untuk kembali menjadi Presiden Indonesia.
Dalam etalase tokoh-tokoh di kalangan NU, saat ini ada beberapa nama seperti Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf, Menkopolhukam Mahfud MD, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Agama Yaqut Cholil Coumas, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Mantan Ketum PBNU Said Aqil Siradj dan Yenni Wahid.
Nama-nama tersebut mengapung dalam perburuan tiket pilpres, tapi apa boleh buat posisi mereka hanya sebagai cawapres.
Sosok yang diharapkan bisa membantu para capres meraup suara Nahdliyin yang sebesar 41,9 persen atau 80-90 kita pemilih.
Jumlah suara yang seharusnya bisa mengantarkan seorang tokoh Nu menjadi capres terkuat.
Dr. Sholeh Basyari, M.Phil, Aktivis NU sekaligus Direktur CSIIS