Halalbihalal Sebagai Konsolidasi Sosial
RMJABAR.COM - Jakarta, Opini - HALALBIHALAL, sebuah praktik yang telah meresap dalam budaya masyarakat Indonesia, menandai akhir dari bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri.
Berakar dalam sejarah, praktik ini pertama kali diusulkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, yang meminta para tokoh untuk memberikan ide agar adanya suatu pertemuan umum setelah Hari Raya Lebaran.
Halalbihalal jadi ajang kumpul-kumpul ibu-ibu komplek. (Foto: Istimewa)
Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971) menyuarakan ide untuk mempererat hubungan sosial pasca Idul Fitri, dalam sebuah pertemuan yang diberi nama: “Halalbihalal”. Sejak itulah maka “Halalbihalal” menjadi simbol interaksi sosial yang memperkokoh hubungan antarindividu dan komunitas.
Sebelumnya, secara sosiologis, proses ini melibatkan pertemuan berhari-hari dengan tetangga, keluarga, dan teman-teman. Bahkan bisa sampai sebulan. Yang tentu saja itu bisa dikatakan bisa mengganggu produktivitas. Namun dengan adanya halalbihalal, pertemuan yang memerlukan waktu berhari-hari itu dapat diringkas menjadi beberapa jam saja. Sehingga hal ini memungkinkan efisiensi waktu yang lebih besar.
Namun, di balik kesederhanaannya, halalbihalal juga mengandung makna yang lebih dalam. Praktik ini dapat dipandang sebagai sebuah upaya membangun konsolidasi sosial, sebuah proses penghimpunan berbagai entitas sosial untuk mencapai tujuan bersama.
Konsolidasi sosial memerlukan pendekatan khusus untuk menata kembali kelompok-kelompok sosial yang mungkin terpecah atau tidak kompak. Dalam konteks ini, halalbihalal berperan sebagai wahana untuk memperkuat solidaritas sosial yang mungkin terkikis oleh berbagai peristiwa, termasuk dinamika politik yang tengah terjadi beberapa bulan belakangan ini.
Dalam sebuah masyarakat yang terdiri dari beragam entitas sosial, perbedaan pandangan dan dukungan politik sering kali menjadi pemicu konflik. Halalbihalal, dengan karakternya yang inklusif, dapat menjadi sarana untuk meredam ketegangan yang muncul akibat perbedaan tersebut.
Di mana melalui pertemuan ini, masyarakat diberikan kesempatan untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan yang memperkuat, bukan memecah belah. Dengan demikian, halalbihalal menjadi salah satu bentuk konsolidasi sosial yang berdimensi politik, di mana upaya untuk membangun kesatuan dan kebersamaan melampaui perbedaan politik yang ada.
Selain itu, halalbihalal juga memiliki dimensi kultural yang kuat. Dalam konteks ini, praktik ini menjadi simbol dari semangat kebersamaan dan persatuan dalam menjaga nilai-nilai budaya dan tradisi. Dengan proses interaksi yang terjadi dalam halalbihalal, nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, dan saling menghormati dapat dipertahankan dan diperkuat. Hal ini penting dalam membangun identitas kolektif yang kuat di tengah arus globalisasi yang semakin memudahkan penetrasi budaya asing.
Selain sebagai momen untuk memperkuat hubungan sosial dan membangun solidaritas, halalbihalal juga dapat menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran akan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di tengah dinamika politik dan kebangsaan yang semakin kompleks, halalbihalal mengingatkan masyarakat akan pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai fondasi utama negara. Dalam suasana yang penuh keberagaman, halalbihalal menegaskan bahwa meskipun berbeda-beda, kita tetap satu dalam NKRI.
Sebagai rekomendasi, pemerintah dan berbagai lembaga masyarakat dapat memperkuat peran halalbihalal sebagai instrumen konsolidasi sosial yang lebih efektif. Program-program yang memfasilitasi pertemuan antarindividu dan kelompok, baik di tingkat lokal maupun nasional, dapat diinisiasi dan didukung secara aktif.
Selain itu, pendekatan yang inklusif dan menghargai keberagaman dalam setiap kegiatan halalbihalal perlu ditekankan, sehingga semua elemen masyarakat merasa diakui dan dihormati. Dengan demikian, halalbihalal bukan hanya menjadi praktik budaya semata, tetapi juga menjadi instrumen yang kuat dalam membangun konsolidasi sosial yang kokoh dan berkelanjutan di Indonesia.
Selanjutnya dalam memperkuat peran halalbihalal sebagai instrumen konsolidasi sosial, beberapa upaya strategis dapat dilakukan.
Pertama, pemerintah dapat menginisiasi program-program pendidikan dan pelatihan tentang pentingnya hubungan sosial yang harmonis dan pentingnya memahami serta menghargai perbedaan. Program ini dapat diselenggarakan di tingkat lokal maupun nasional, melibatkan berbagai lapisan masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.
Kedua, mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan halalbihalal dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat, termasuk organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, dan lembaga kemasyarakatan. Dengan melibatkan beragam entitas sosial, halalbihalal menjadi lebih inklusif dan mampu mencakup berbagai pandangan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat.
Ketiga, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memperluas jangkauan dan dampak kegiatan halalbihalal. Dengan adanya media sosial, forum online, dan platform digital lainnya, masyarakat dapat terlibat dalam diskusi dan pertukaran ide yang memperkuat hubungan sosial serta memperkuat kesadaran akan pentingnya persatuan dalam kerangka NKRI.
Keempat, memperkuat peran tokoh-tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat lainnya, dalam mempromosikan pesan-pesan perdamaian, toleransi, dan persatuan melalui kegiatan halalbihalal. Tokoh-tokoh ini dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam membangun hubungan sosial yang harmonis dan mengatasi konflik yang mungkin timbul.
Kelima, menyelenggarakan forum-forum dialog antar berbagai entitas sosial untuk membahas isu-isu yang relevan dengan kehidupan bersama dan mencari solusi bersama atas tantangan yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam forum ini, setiap pihak memiliki kesempatan untuk menyampaikan pandangannya dan mencari kesepahaman bersama untuk membangun konsensus yang menguntungkan semua pihak.
Dengan mengimplementasikan upaya-upaya strategis ini secara komprehensif dan berkesinambungan, halalbihalal dapat menjadi lebih dari sekadar tradisi budaya atau momen silaturahmi semata. Ia bisa menjadi instrumen yang kuat dalam memperkuat konsolidasi sosial di Indonesia, memperkuat solidaritas antarindividu dan komunitas, serta memperkuat kesadaran akan pentingnya persatuan dalam kerangka NKRI.
Penulis: Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Prodi Magister KPI UIN Jakarta*