Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Ciptaker Dan Hantu Partisipasi Masyarakat
Raja Media Jabar, Opini - Pro-kontra terkait Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker yang dikeluarkan Pemerintah pada jam-jam terakhir hari kerja di penghujung tahun 2022 masih akan berlanjut setidaknya hingga penentuan sikap akhir DPR dalam masa sidang berikutnya di awal tahun 2023.
Meskipun sebenarnya tidak sulit bagi publik untuk menebak hasilnya.
Yang pasti jurubicara Pemerintah beragumen bahwa Perppu ini telah memenuhi kriteria formil pembuatan hukum dalam UU, dan kemudian berstrategi secara diplomatis mengarahkan perdebatan pada aspek substansi UU Ciptaker yang sangat gemuk itu.
Dengan melempar persoalan pada aspek materil Perppu tentu yang dikejar Pemerintah adalah sikap penerimaan awal terhadap eksistensi Perppu ini terlebih dahulu, sembari memainkan taktik pengalihan “biarlah waktu” yang panjang nanti yang akan menentukan aspek konten UU yang sangat majemuk ini melalui mekanisme judicial review dan membangun penegasan konsepsi Perppu sebagai kewenangan Presiden dan merupakan jalan pintas yang sah mengatasi persoalan.
Tapi, apakah argumen Pemerintah ini tepat dan karenanya telah berdasar hukum?
Marilah kita tilik alasan-alasan yang dikeluarkan jurubicara Pemerintah ini melalui pernyataan-pernyataan di media.
Jika diringkas, alasan yang muncul adalah sebagai berikut:
1. Perppu ini telah sesuai karena metode omnibus law sudah diakomodir dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), khususnya pada UU perubahannya yakni UU Nomor 13 Tahun 2022.
2. Adanya kegentingan memaksa berupa potensi resesi ekonomi yang didasarkan ada analisis 4 lembaga internasional yakni: World Bank, IMF, ADB, dan OECD.
3. Waktu pembuatan UU akan sangat panjang dan belum tentu bisa selesai sesuai yang diamanatkan MK dalam putusan Nomor: 91/PUU-XVIII/2020.
Untuk menilai argumen Pemerintah di atas, pertimbangan MK dalam putusannya terkait UU Ciptaker harus dikutip secara langsung untuk melihat seberapa tepat alasan-alasan tersebut telah dianggap menjawab persoalan konstitusionalitas UU Ciptaker melalui Perppu.
Pada halaman 413-414 pada butir [3.20.3] dalam Putusan Nomor 91 Tahun 2020, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan ini Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU 11/2020 a quo dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan tersebut Mahkamah memandang perlu memberi batas waktu bagi pembentuk UU melakukan perbaikan tata cara dalam pembentukan UU 11/2020 selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam waktu 2 (dua) tahun, UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, maka Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi inkonstitusional secara permanen.”
Dalam pertimbangan hukum, terdapat beberapa poin yang dijadikan dasar MK memutuskan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat, bahkan menjadi inkonstitusional permanen, jika tidak dilakukan saran MK dalam batas 2 tahun sejak putusan.
1. Belum adanya landasan hukum tentang metode omnibus law, sehingga MK menyarankan untuk dilakukan perubahan terhadap UU PPP. Ini telah dilaksanakan Pemerintah dan DPR dengan mengesahkan UU Nomor 13 Tahun 2022.
3. UU Ciptaker tidak memenuhi asas-asas keterbentukan undang-undang, khususnya pada aspek asas keterbukaan yang harus menyertakan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat yang diinginkan MK adalah partisipasi maksimal dan bermakna, bukan partisipasi simbolik, apalagi seremonial belaka.
Dengan dasar tersebut, MK memberikan saran hukum, yang tentunya ini dimaknai sebagai perintah, agar Pemerintah dan DPR melakukan perubahan UU PPP dalam batas waktu maksimal 2 tahun sejak putusan dibacakan. Perintah ini jelas telah dilaksanakan pembentuk UU dan karenanya ancaman inkonstitusionalitas permanen terhadap UU Ciptaker tidak lagi jadi masalah saat ini.
Pertanyaannya adalah apakah dengan berakhirnya ancaman inkonstitusionalitas permanen terhadap UU Ciptaker berarti posisi UU Ciptaker telah kembali pada posisi nol dalam proses pembentukan perundang-undangan? Apakah kemudian Perppu dapat dianggap jalan sah untuk memulai kembali pengundangan Ciptaker?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, hal yang perlu digarisbawahi terlebih dahulu terkait Perppu Ciptaker ini adalah ia berbeda sangat dengan jenis atau bentuk Perppu dari sisi konten, yang karenanya terkait pula dari sisi formil, dengan Perppu yang pernah dibuat sebelumnya. Perppu yang ada biasanya berbentuk dua hal: 1) Berisi perubahan sebagian saja dari UU yang diubah. Contohnya sangat banyak dan yang terakhir adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan UU Nomor 7 tahun 2017. 2) Berisi undang-undang baru yang belum pernah dibuat sebelumnya seperti Perppu Nomor 1 tahun 2002 tentang pidana terorisme. Kehadiran Perppu yang memuat materi UU yang baru sama sekali menegaskan sisi kemendesakan dan kegentingan kehadirannya secara hukum.
Menjawab pertanyaan pertama di atas dihubungkan dengan fakta terkait jenis konten Perppu yang pernah ada, Perppu Ciptaker secara kenyataan tidak dapat didudukkan pada posisi nol, dalam arti belum pernah eksis sama sekali. Secara materil, Perppu Ciptaker adalah penjelmaan ulang dari UU Nomor 11 Tahun 2020. Tegasnya, Perppu Nomor 2/2022 adalah “mayat hidup” dari UU Nomor 11/2020 yang dibangunkan dari kuburnya melalui mekanisme Perppu.
Terlepas alasan “kematiannya” bukan berasal dari kerusakan fisiknya, tapi dari sesuatu yang berada di luar raganya, secara yuridis UU Nomor 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional. Andaipun ia mau diberikan roh kehidupan kembali, MK telah memberikan syarat kehidupannya kembali, yakni melalui asas keterbukaan melalui partisipasi masyarakat secara maksimal dan bermakna, dan pemasukan model omnibus law dalam UU PPP.
Syarat tersebut bersifat kumulatif, bukan alternatif. Meskipun salah satu syarat kehidupan untuk UU Ciptaker memang telah dipenuhi, tapi syarat immaterial lainnya belum dipenuhi secara maksimal. Bahkan dengan jalan pembentukan melalui Perppu, justru syarat pemenuhan asas keterbukaan malah menjadi hilang. Karenanya syarat pembangkitan UU Ciptaker dari “kematiannya” secara yuridis belumlah terpenuhi. Inilah jawaban terhadap pertanyaan kedua di atas. Yakni, jalan yang ditempuh Pemerintah bukanlah jalan yang sah dan dapat diterima untuk memenuhi persyaratan yang telah digariskan oleh MK.
Secara faktual, Pemerintah sebenarnya telah berupaya melaksanakan syarat pertama untuk menghidupkan kembali UU Ciptaker dengan membentuk tim kerja sosialisasi UU Ciptaker dengan menggelar berbagai pertemuan di berbagai daerah untuk mendapatkan masukan masyarakat tentang substansi materi UU Ciptaker pascaputusan MK.
Namun tampaknya Pemerintah sadar, dengan gemuknya bobotnya materi UU ala omnibus tersebut, waktu yang tersedia hingga akhir masa jabatan 2024 tidak akan dapat mewujudkan apa yang disyaratkan dengan frasa “maksimal dan bermakna”. Dua sifat ini selain tidak ditentukan indikator teknisnya dalam putusan MK, juga pasti akan mengundang banyak perdebatan tentang objektifikasi dan kualitas nilai dalam pembenaran secara kuantitatif.
Sebagai ilustrasi saja, jika RUU KUHP membutuhkan waktu hingga beberapa dekade untuk menjadi UU, bagaimana pula dengan UU Ciptaker yang isinya jauh lebih banyak dan beragam ketimbang RUU KUHP? Fakta ini memaksa Pemerintah mencari jalan shortcut untuk UU Ciptaker.
Andai saja UU Ciptaker belum pernah diundangkan sebelumnya, dan dituangkan dalam bentuk Perppu sejak awal, mungkin saja perdebatan soal keabsahan Perppu Ciptaker tidak akan seperti saat ini. Meskipun, tetap saja diskusi soal formil model omnibus law UU Ciptaker akan menguras energi para akademisi, aktivis, warga, dan politisi dalam berbagai media.
Hal lain yang menjadi objek diskusi terkait Perppu Ciptaker adalah alasan kemendesakannya. Semua perdebatan ini pasti akan mengacu pada tiga indikator kegentingan memaksa yang telah dirumuskan oleh MK dalam putusannya Nomor 138/PUU-VII/2009.
Yang pasti dengan pernah dibuatnya UU Ciptaker sebelumnya melalui proses biasa melalui UU Nomor 11/2020, seluruh alasan terkait kegentingan memaksa telah sirna. Pertanyaan yang muncul terkait hal ini adalah jika memang ada kegentingan memaksa, mengapa tidak sejak awal itu dilakukan melalui Perppu?
Pemerintah tentu dapat merespon bahwa saat awal UU Ciptaker dibentuk dan diundangkan dengan UU Nomor 11/2020 belum ditemukan kegentingan memaksa, namun saat ini kondisi tersebut telah ada, yakni melalui analisis yang disampaikan oleh 4 lembaga internasional di atas terkait resesi ekonomi. Pertanyaan yang dapat diajukan menanggapi hal ini adalah:
Apakah kegentingan memaksa itu bersifat potensial atau aktual? Apakah prediksi dapat dijadikan dasar? Bukankah baru-baru ini Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan bahwa Indonesia tidak akan terdampak resesi ekonomi global berdasarkan analisis IMF?
Dalam konteks ini, argumen tentang keadaan kegentingan memaksa belum menemukan justifikasinya terlebih karena pandangan internal pemerintah sendiri belum tunggal soal ini. Yang pasti, hantu resesi yang diciptakan saat ini belum menakuti seluruh rakyat, bahkan pemerintah sendiri. Sehingga alasan ini belum dapat diterima sebagai alasan pembenaran adanya kegentingan memaksa.
Satu hal yang pasti tak dapat dipungkiri adalah secara yuridis Pemerintah belum memenuhi salah satu syarat yang diperintahkan MK untuk menghidupkan kembali UU Ciptaker, yakni pemenuhan asas keterbukan melalui partisipasi publik yang maksimal dan bermakna.
Pilihan pada mekanisme Perppu justru berlawanan dengan syarat yang ditetapkan tersebut. Bagi pemerintah, penyelamatan ekonomi melalui UU Ciptaker tampaknya jauh lebih utama ketimbang pelibatan rakyat dalam menghadapi persoalan bangsa ini.
Paradigma yang berkembang dalam kasus ini adalah Pemerintah melalui kekuasaannya percaya bahwa hanya mereka yang dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Rakyat hanyalah objek semata yang tak perlu dilibatkan dalam masalah kenegaraan.
Pengabaian partisipasi dan pelibatan masyarakat di sini merupakan bentuk penisbian demokrasi yang telah dipilih sebagai jalan bersama melalui konstitusi.
Apakah karenanya pembuatan Perppu ini kemudian dapat dikatakan pelanggaran konstitusi oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Pemerintah? Jika kita menyakini MK sebagai guardian of constitution dan putusannya merupakan penjabaran dari nilai konstitusi, maka tindakan Presiden yang membuat Perppu ini dengan mengabaikan syarat asas keterbukaan, dapat saja dinilai sebagai pelanggaran konstitusi.
Namun apakah ini dapat menjadi dasar untuk impeachment, tentu ini hal yang berbeda yang tidak dapat dijawab dengan perspektif hukum semata, tapi lebih pada pendekatan politik.
*Penulis: Dosen UIN Jakarta-Presiden DPP Lumbung Informasi Rakyat/LIRA