Pulitik Jero

Bale Maung

Bale Dewan

Hukum

Ekobis

Bale Jabar

Peristiwa

Galeri

Olahraga

Pamanggih

Nusantara

Mancanagara

Kaamanan

Piwulang

Kesehatan

Gaya Hirup

Otomotif

Indeks

Dede Yusuf Dorong Revisi UU Pemilu-Pilkada, Putus Mata Rantai Politik Mahal!

Laporan: Halim Dzul
Selasa, 23 Desember 2025 | 14:20 WIB
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf - Humas DPR -
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf - Humas DPR -

RAJAMEDIA.CO – Jakarta, Legislator - Komisi II DPR RI mendesak dilakukan perombakan fundamental terhadap regulasi pemilihan umum melalui revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada. 
 

Langkah ini dinilai mendesak untuk memutus mata rantai politik biaya tinggi yang selama ini menjadi akar persoalan maraknya korupsi kepala daerah di berbagai wilayah.
 

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menegaskan bahwa mahalnya ongkos kontestasi politik mendorong kandidat terjebak dalam skema return of investment, yakni upaya mengembalikan modal politik setelah terpilih. Kondisi tersebut, kata dia, kerap berujung pada pengorbanan integritas dan praktik koruptif.
 

“Kami melihat di Komisi II, sumber dari masalah banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi itu memang berasal dari biaya Pilkada yang cukup tinggi dan mahal,” ujar Dede, dikutip Selasa (22/12/2025).
 

Jerat Return of Investment
 

Menurut Dede, tekanan finansial selama masa kampanye membuat banyak kepala daerah memilih jalan pintas setelah berkuasa, mulai dari suap hingga penyalahgunaan kewenangan. Praktik vote buying yang masih mengakar di masyarakat semakin memperparah kualitas kompetisi demokrasi.
 

Ia menyebut, popularitas dan kapasitas kepemimpinan sering kali kalah oleh kekuatan finansial. Kandidat yang tidak memiliki modal besar cenderung tersingkir meski memiliki elektabilitas.
 

“Biaya politik yang mahal memaksa calon kepala daerah mengeluarkan dana besar untuk memenangkan kontestasi. Kondisi seperti itu membuat banyak yang menang bukan karena kapasitas, tetapi karena biaya yang tinggi,” jelas politisi Partai Demokrat tersebut.
 

Dorongan untuk mengembalikan modal politik inilah yang kemudian menjadi pintu masuk praktik korupsi di pemerintahan daerah.
 

“Ketika sudah menang, muncul tekanan untuk mengembalikan return of investment. Ini yang berbahaya,” tegas Dede.
 

Darurat Integritas Kepemimpinan Daerah
 

Urgensi pembenahan regulasi semakin terasa setelah Pilkada serentak 27 November 2024. Dalam waktu relatif singkat, sedikitnya lima kepala daerah dan satu wakil wali kota ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
 

Mereka antara lain Bupati Kolaka Timur Abdul Azis, Gubernur Riau Abdul Wahid, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang, serta Wakil Wali Kota Bandung Erwin Affandi.
 

Fenomena ini dinilai sebagai sinyal darurat bagi kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan daerah.
 

Fokus Tekan Politik Uang
 

Merespons kondisi tersebut, Komisi II DPR RI berkomitmen memasukkan penguatan pengawasan dan pengetatan aturan pendanaan politik dalam revisi UU Pemilu dan Pilkada. Tujuannya, menciptakan mekanisme hukum yang efektif untuk menekan praktik politik uang dan menurunkan biaya politik ke tingkat yang lebih rasional.
 

“Mekanisme-mekanisme ini yang harus kita pikirkan ke depan, supaya money politics atau vote buying dalam Pilkada bisa ditekan dan tidak lagi menjadi faktor penentu kemenangan,” pungkas Dede Yusuf.rajamedia

Komentar: